Langsung ke konten utama

Berapa gaji Pengurus Muhammadiyah?

*ADA YANG BELUM KENAL DEKAT MUHAMMADIYAH (?)* Seorang pengurus yayasan bertanya: “Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?”. “Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yang digaji” jawab saya. “Apa benar ?. Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka ?”. “Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”. “Bagaimana kalan tugas Muhyammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?”. “Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah”. “Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhanmadiyah”. “Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yarg berfikir mengurusi Muhammaidyah sebagai profesi. Semua berniat sebagai pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”. Dahulu pernah ada gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muıammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh ke pesyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat yang baik, tapi ketua PP mau digaji berapa? Apalagi kalau gaji itu dikaitkan masa kerja. Semua pimpinan rata-rata sudah aktif sejak masa muda. Lalu siapa yang mau membayar gaji itu?”, kata Pak AR tersenyum. Pimpinan Muhammadiyah memang bukan karyawan Muhamamdiyah. Pengurus tidak digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan kelemahan. Seorang dosen perguruan tinggi swasta bukan orang Muhammadiyah bertanya, “Apakah benar semua amal usaha Muhammadiyah menjadi milik pimpinan pusat?”. “Benar!”, jawab saya. ”Berapa bantuan dari pusat sampai bisa menguasai semua aset itu?”. ”Sama sekali tidak membantu materi. Hanya meresmikan, itupun kalan ada waktu. Pimpinan Pusat tidak menguasai, walaupun secara hukum semua atas nama pimpinan pusat.” “Tidak menguasai tapi memiliki, itu sama saja". Kalau tidak dibantu, lalu dari mana sumber dana membangun amal usaha yang demikian banyak ?”. “Dari anggota dan simpatisan. Anggota ranting di desa misalnya, mereka urunan membangun madrasah, SD, masjid dan sebagainya. Demikian juga aset lain seperti rumah sakit sampai universitas. Mereka paham kalau diberi nama Muhammadiyah itu artinya diberikan kepada Muhammadiyah”’ ”Rela ya, apa kuncinya kerelaan memberi itu ?”. Saya katakan bahwa Muhammadiyah itu organisasi kerja, bukan organisasi papan nama. Sebuah ranting berdiri bukan karena banyaknya orang tetapi karena ada kegiatan. Syarat berdirinya sebuah ranting harus punya amal usaha misalnya punya sekolah, atau masjid atau punya aktifitas seperti pengajian. Berikutnya, Orang Muhammadiyah itu melakukan kegiatan karena dorongan iman, dorongan keyakinan, bukan karena mencari untung. Karena itu sering dalam kegiatan mereka bukan saja tidak dapat honor, malah sering mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Lain dengan kepanitiaan di instansi. Asal namanya tercantum berhak dapat honor walaupun tidak bekerja. Karena itu sering rebutan agar namanya bisa dicantumkan dalam panitia kegiatan. Di Muhammadiyah tidak demikian. Mereka bekerja karena didorong iman bukan keuntungan, itulah juga kekuatan dalam Muhamamdiyah. Kekuatan berikutnya, orang Muhammadiyah itu relatif terdidik dan rasional. Jadi mudah faham dengan aturan. “Orang rasional yang irasional”, katanya sambil tertawa, karena bersusah payah membuat sekolah dan rumah sakit, lalu diberikan sukarela ke pimpinan pusat tanpa konpensasi apapun. Seorang walikota yang bukan orang Muhammadiyah tertarik dengan istilah “amal usaha” yang digunakan dalam lembaga Muhammadiyah. “Ini mengandung makna yang mulia”, katanya. Menurut walikota, orang bekerja di rumah sakit, sekolah dan di semua amal usaha Muhammadiyah harus dimulai dengan nawaitu amal, baru usaha atau nawaitu cari nafkah. Jangan dibalik, yang menonjol cari nafkahnya atau usaha, nanti bisa lupa amalnya. Karena itu dinamakan amal usaha. Artinya, niat beramal di depan, baru usaha cari nafkah,” katanya. Kita tidak tahu apakah para karyawan di amal usaha Muhammadiyah sudah menghayati dengan baik makna amal usaha seperti yang diuraikan walikota itu. Atau bersemangat sebaliknya. Bekerja murni mencari nafkah tanpa ada semangat mengabdi. Setelah Muhammadiyah berkembang besar, setelah jumlah amal usaha terus bertambah, boleh jadi nawaitu orang masuk Muhamamdiyah bermacam-macam. Ada yang ingin mengabdi untuk agama tetapi ada pula untuk kepentingan lain. Selama pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha tetap istiqomah pada tujuan memberi sesuatu, bukan meminta sesuatu kepada Muhamamdiyah, kita percaya daya saring pada orang-orang yang masuk Muhammadiyah tetap akan berjalan baik. Namun berikut ini mungkin kejadian kecil yang penting untuk direnungkan. Seorang pengurus Aisyiyah bercerita, suatu hari ibu penjual nasi goreng dekat sebuah pasar tradisional agak tergopoh-gopoh mendatanginya. “Apakah betul Bu Haji orang Muhammadiyah?” tanya penjual nasi goreng itu. “Betul Mengapa?” “Tidak ada apa-apa. Oh, ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik, ya”, kata penjual itu dengan suara rendah seperti kepada dirinya sendiri. Ibu Aisyiyah tertegun dan merasa nelongso mendengar ucapan kawannya itu. Kalimat “ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik”, terngiang terus. Apa orang Muhammadiyah itu demikian buruk sehingga dianggap aneh kalau menjadi orang baik ?. Ibu Aisyiah itu memang sering menolong penjual nasi goreng itu, meminjami uang (tanpa bunga), memberi nasihat, mencari solusi masalah keluarga, menjadi tempat curhat dan konsultasi gratis. Aneh, bu haji ternyata orang Muhammadiyah. Muhammadiyah memang sudah berusia satu abad. Tetapi ternyata masih banyak masyarakat mengenal Muhammadiyah baru sebatas kulitnya. Belum dalamnya. Pengurus yayasan yang bertanya berapa gaji pimpinan Muhammadiyah, dia be lum kenal Muhammadiyah dengan baik. Juga dosen perguruan swasta itu. Apalagi penjual nasi goreng itu, Dia sama sekali tidak kenal Muhammadiyah. Hanya tahu namanya, itupun dengan prasangka yang buruk. Sudah banyak yang Muhammadiyah (kita) lakukan, tetapi temyata lebih banyak lagi yang belum sempat kita kerjakan. Memasuki usia abad kedua, kita harus membuktikan bahwa Muhammadiyah kebalikan dari sangkaan penjual nasi goreng itu. Jika orang mengatakan, “Dia orang Muhammadiyah, ”maka dalam kata “Muhammadiyah” itu harus terkandung jaminan sebagai orang baik, amanah, jujur, menepati janji, kerja keras, pecinta damai, tidak mbulet dan tidak aji mumpung. Ternyata banyak orang yang belum kenal betul pada Muhammadiyah. Nasrun minallah wa fathun qarib. Pencerahan ini dikutip dari buku Hidup Bermakna dengan memberi oleh NUR CHOLIS HUDA, Editor : NADJIB HAMID, Hikmah Press 2014.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Data Tanah Wakaf Muhammadiyah Sleman Tahun 2020

  DATA TANAH WAKAF MUHAMMADIYAH PDM SLEMAN TAHUN 2020   NO DUSUN DESA LUAS TANAH (M2) PEMANFAATAN TANAH 1 2 3 4 5 1 Kalak Ijo Triharjo 145 BKIA 2 Temulawak Triharjo 134 Masjid Ar Rohmad 3 Murangan Triharjo 1,210 Ponpes 4 Murangan Triharjo 1,747 Pendidikan 5 Ngankrik Triharjo 136 Masjid 6 Panggeran Triharjo 175 Masjid 7 Sleman Triharjo 115 Masjid 8 Temulawak Triharjo 157 Masjid 9